JAKARTA, Cobisnis.com – BYD Motor Indonesia menilai perlu adanya regulasi yang lebih jelas untuk membedakan kendaraan hybrid konvensional dengan plug-in hybrid electric vehicle (PHEV). Luther Panjaitan, Head of Public and Government Relations BYD Motor Indonesia, mengatakan industri otomotif membutuhkan aturan yang lebih tegas agar kategori PHEV memiliki posisi yang lebih pasti di pasar nasional.
Ia menjelaskan bahwa pihaknya masih menunggu regulasi yang lebih “firm” terkait PHEV, karena perbedaan antara hybrid biasa dan plug-in hybrid harus terlihat jelas. Menurutnya, kejelasan aturan ini akan membuka peluang lebih besar bagi produsen, termasuk BYD, untuk memasarkan kendaraan elektrifikasi berbasis PHEV di Indonesia.
Luther mengungkapkan bahwa BYD sangat memungkinkan menghadirkan model PHEV pada tahun depan sebagai pelengkap line-up sekaligus menjadi solusi untuk daerah yang masih terkendala infrastruktur kendaraan listrik penuh.
Saat ini, kategori PHEV di Indonesia belum mendapatkan perlakuan khusus seperti mobil listrik berbasis baterai. Mobil hybrid dan PHEV hanya memperoleh insentif PPnBM sebesar 3 persen yang akan berakhir pada akhir tahun, berbeda dengan mobil listrik yang mendapatkan PPnBM 0 persen apabila diproduksi dalam negeri, serta PPN DTP sehingga PPN hanya menjadi 1 persen.
Selain itu, mobil listrik bebas dari PKB dan BBNKB, sedangkan hybrid dan PHEV masih dikenakan seluruh pajak tersebut. Mobil listrik juga mendapat insentif bea masuk impor 50 persen, membuat tarifnya hanya sekitar 12 persen dari total 77 persen, insentif yang juga akan selesai tahun ini. Insentif non-fiskal seperti bebas ganjil-genap pun hanya berlaku untuk kendaraan listrik penuh.
Sebagai salah satu pemain besar di segmen PHEV global, BYD menegaskan kesiapannya menghadirkan solusi mobilitas di Indonesia, tidak hanya melalui kendaraan listrik berbasis baterai. Luther menyebut PHEV dapat menjadi jembatan transisi menuju era kendaraan listrik murni atau BEV, karena menawarkan efisiensi dan tetap ramah lingkungan.














